Yogyakarta, 2 Juli 2025 – Dunia keperawatan tidak hanya bicara soal teknik, diagnosis, dan pengobatan. Lebih dari itu, profesi perawat menuntut kepekaan, empati, dan pemahaman terhadap keberagaman budaya yang makin kompleks di era global. Inilah yang menjadi semangat utama dalam seminar bertajuk “Peka Budaya dalam Praktik Keperawatan: Merajut Harmoni, Membangun Kesadaran dan Sensitivitas Budaya di Era Globalisasi” yang diselenggarakan oleh STIKes Panti Rapih pada Rabu, 2 Juli 2025 secara daring melalui Zoom.
Seminar ini dipandu oleh Ibu Dr. Th. Titin Marlina, Ns., M.Kep sebagai Master of Ceremony dan dimoderatori oleh Ibu Herlin Lidya, Ns., M.Kep, yang berhasil membawakan acara dengan suasana yang hangat namun tetap profesional. Kegiatan ini menjadi salah satu bekal wajib bagi mahasiswa semester akhir Sarjana Keperawatan STIKes Panti Rapih, namun tak terasa seperti kewajiban, karena isi dan atmosfernya yang begitu hidup dan membuka wawasan.
Dalam sambutan yang diberikan oleh Sr. Lucila Suparmi CB, M.Kep, Ns, Sp.KMB selaku Wakil Ketua III STIKes Panti Rapih, menyampaikan bahwa pembekalan ini menjadi bagian penting dari proses pembentukan karakter dan kompetensi mahasiswa sebelum benar-benar terjun ke dunia kerja.
“Pembekalan ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk mempersiapkan diri dalam memasuki dunia kerja. Harapannya lulusan STIKes Panti Rapih dapat mengemban tugas secara holistik dengan memperhatikan latar belakang budaya dari pasiennya, sehingga dapat dilayani secara komprehensif dan tidak membeda-bedakan,” ujar beliau.
Tak hanya sebagai bekal akademik, seminar ini juga diposisikan sebagai panggilan hati untuk menjalani profesi perawat dengan penuh kasih dan kepekaan terhadap sesama.
Seminar ini menghadirkan empat narasumber dari latar belakang yang sangat beragam namun saling melengkapi, masing-masing berbagi pengalaman dan perspektif unik dalam praktik keperawatan yang berpijak pada keberagaman budaya.
Sesi pertama dibuka oleh Monica Sirken, A.Md.Kep, alumni STIKes Panti Rapih tahun 2009 yang kini bekerja di RSUD Merauke. Lewat topik “Komunikasi, Kepercayaan, dan Kulturalisme”, Monica berbagi cerita soal kompleksitas budaya yang ia hadapi saat merawat pasien di Papua, di mana setiap suku memiliki adat dan cara masing-masing dalam menghadapi sakit.
“Di Papua, keputusan medis bisa melibatkan kepala suku dan keluarga besar. Karena keterjangkauan pelayanan medis yang masih terbatas di area pelosok Papua, masih banyak masyarakat yang percaya pada dukun daripada medis, terutama apabila sakit yang terjadi dikaitkan dengan budaya yang ada,” jelas Monica.
Menariknya, tenaga kesehatan di sana bahkan sering tidak memakai seragam agar lebih membaur dengan masyarakat dan bisa ikut terlibat dalam acara adat. Ia juga menyampaikan pentingnya kolaborasi antara pengobatan tradisional dan medis, selama tidak saling bertentangan, keduanya bisa berjalan berdampingan demi kebaikan pasien.
Sementara itu, Swastika Ayu Normalasari, S.Psi., M.Psi., Psikolog dari Puskesmas Depok II Sleman menyoroti pentingnya kompetensi budaya dalam merawat pasien LGBT. Ia menggarisbawahi bahwa tidak semua tenaga kesehatan mendapat pelatihan yang memadai dalam menghadapi isu ini, padahal sikap terbuka dan profesional sangat diperlukan agar pasien merasa aman dan tidak dihakimi.
“Kita tidak bisa memilih siapa yang jadi pasien kita. Tapi kita bisa memilih bagaimana bersikap: penuh hormat, terbuka, tanpa menghakimi,” katanya tegas.
Tak kalah menyentuh, Ns. Bd. Ester Maria, MM. Pd., M.Kep dari Tzu Chi Hospital mengajak peserta untuk melihat keperawatan sebagai praktik welas asih yang bersifat lintas budaya dan spiritual. Dengan nilai-nilai Buddhis yang membumi, beliau menekankan bahwa pasien perlu diperlakukan selayaknya keluarga, karena perawatan terbaik lahir dari ketulusan dan belas kasih, bukan sekadar keterampilan klinis.
“Welas asih kepada sesama tidak butuh hubungan darah. Semua orang layak dirawat dengan cinta dan keikhlasan,” katanya, mengutip nilai-nilai yang dipegang oleh Tzu Chi.
Menutup rangkaian pembicara, Siwi Ikaristi, Maria Theresia, Ns., MSN., PhD., NS, dosen pengampu mata kuliah Peka Budaya STIKes Panti Rapih, mengingatkan pentingnya nilai-nilai budaya lokal seperti budaya Jawa dalam membentuk pendekatan keperawatan yang holistik. Menurutnya, kearifan lokal seperti unggah-ungguh dan tepo seliro dapat menjadi kekuatan dalam membangun hubungan yang manusiawi antara perawat dan pasien, bahkan di tengah arus modernisasi yang kian cepat.
“Unggah-ungguh, tepo seliro, dan rasa hormat—itu bukan nilai kuno. Justru jadi kekuatan di tengah gempuran modernitas” ungkap beliau.
Selama lebih dari empat jam, peserta diajak merenungkan ulang: bahwa merawat bukan hanya soal tubuh, tapi juga jiwa dan latar belakang sosial-budaya pasien. Seminar ini menjadi ruang pembelajaran yang tak hanya mengisi kepala, tapi juga menyentuh hati, karena pada akhirnya, pelayanan kesehatan sejati adalah tentang kehadiran yang penuh empati.
STIKes Panti Rapih percaya, bahwa:
📌 Menjadi perawat bukan hanya tentang menyembuhkan penyakit, tetapi juga menyentuh hati.
📌 Dan budaya adalah jembatan untuk membuat setiap pasien merasa dihargai dan diterima, apapun latarnya.
Els